Perubahan iklim telah memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat yang tinggal di daerah pesisir. Masyarakat adat pesisir mengalami dampak yang lebih buruk dari perubahan iklim karena ketergantungan mereka yang erat dengan sumber daya alam dan ekosistem (Nalau et al., 2018). Perubahan iklim telah memengaruhi kondisi lingkungan dan kehidupan masyarakat adat pesisir, membuat mereka mengalami kerentanan yang berlipat ganda. Sejak 1960-an, kenaikan suhu bumi dari 0,14oC menjadi 0,20oC, telah menyebabkan kenaikan permukaan laut secara ekstrem (Raoul Wallenberg Institute, 2023). Proyeksi kenaikan permukaan laut saat ini berkisar antara 0,4 hingga 2,5 m sampai pada akhir abad ini (Piggott McKellar et al., 2021). Kenaikan permukaan laut membawa berbagai dampak buruk seperti intrusi garam yang membahayakan akses ke air tawar, peningkatan frekuensi gelombang pasang dan gelombang badai, erosi pantai, banjir pantai, dan pasang surut yang lebih tinggi. Menghadapi situasi tersebut, masyarakat adat pesisir terancam harus berpindah tempat tinggal dikarenakan oleh kondisi perubahan iklim (climate migrant) (Spellman, 2022). Di sisi lain, masyarakat adat diakui secara luas karena kemampuannya beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan kejadian bahaya, termasuk dalam konteks perubahan kondisi pesisir serta kenaikan permukaan laut. Masyarakat adat menghadapi perubahan iklim dengan berbagai cara, misalkan dengan melakukan diversifikasi mata pencarian, perubahan sumber bahan makanan, serta pengelolaan ekosistem yang lebih lestari (Petzold, 2020). Namun, pengetahuan tradisional mungkin tidak selalu cukup untuk menghadapi kondisi iklim yang berubah secara ekstrem. Pengetahuan tradisional bersandar dari pengalaman masa lalu, sehingga cara ini memiliki sejumlah keterbatasan ketika dihadapkan pada kondisi perubahan iklim baru yang belum pernah terjadi sebelumnya (Lebel, 2012). Pada tataran global, berbagai forum dan konvensi internasional telah mengakui pentingnya memasukkan suara masyarakat adat dalam wacana perubahan iklim, seperti Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework/GBF), yang mengakui hak atas lingkungan yang sehat dan kebutuhan untuk memasukkan perspektif dan representasi masyarakat adat dalam wacana perlindungan dan pengelolaan lingkungan (Ituarte-Lima, 2023). Dalam konteks Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah memasukkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat dalam Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2021-2025, atau RANHAM, meskipun tidak secara khusus berkaitan dengan konteks kondisi perubahan iklim. Selanjutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah memberlakukan beberapa kebijakan untuk mengatur sistem zonasi pesisir bagi masyarakat adat pesisir (KKP, 2020). Meskipun demikian, wacana perubahan iklim di Indonesia masih sangat terfokus pada narasi ekosistem darat dan berbasis lahan. Masih ada kesenjangan yang lebar dalam penelitian dan intervensi kebijakan tentang keterkaitan antara hak-hak adat dan wacana perubahan iklim, khususnya dalam konteks ekosistem pesisir. Sebagai negara kepulauan, ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk memiliki kerangka kerja holistik untuk mengatasi masalah ini. Apalagi penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan 29.000 ha daratannya karena kenaikan permukaan air laut. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan memperkirakan Indonesia akan kehilangan 115 pulaunya dalam beberapa dekade mendatang (Karlina et al., 2020). Penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa pada tahun 2050, sebanyak 2.000 pulau kecil akan tenggelam di mana lebih dari 70% di antaranya berada di kepulauan Maluku (Herman, 2023). Dokumen ini disusun untuk menangkap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Termasuk di dalamnya kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat adat pesisir, serta strategi mitigasi dan adaptasi yang mereka lakukan berhadapan dengan perubahan iklim. Salah satu kerangka analisis yang digunakan dalam dokumen ini adalah Framework for Integrating Rights and Equality (FIRE), sebuah kerangka kerja yang disusun oleh Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law (RWI) untuk mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan gender pada konteks perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.

Masyarakat Adat Pesisir dan Perubahan Iklim: Perspektif Hak Asasi Manusia

Resource Key: XXKSP9HJ

Document Type: Report

Creator:

Author:

  • Yance Arizona
  • Almonika Cindy Fatika Sari
  • Danang Aditya Nizar

Creators Name: {mb_resource_zotero_creatorsname}

Place: Jakarta, Indonesia

Institution: Raoul Wallenberg Institute

Date: 2024

Language: indonesian

Perubahan iklim telah memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat yang tinggal di daerah pesisir. Masyarakat adat pesisir mengalami dampak yang lebih buruk dari perubahan iklim karena ketergantungan mereka yang erat dengan sumber daya alam dan ekosistem (Nalau et al., 2018). Perubahan iklim telah memengaruhi kondisi lingkungan dan kehidupan masyarakat adat pesisir, membuat mereka mengalami kerentanan yang berlipat ganda. Sejak 1960-an, kenaikan suhu bumi dari 0,14oC menjadi 0,20oC, telah menyebabkan kenaikan permukaan laut secara ekstrem (Raoul Wallenberg Institute, 2023). Proyeksi kenaikan permukaan laut saat ini berkisar antara 0,4 hingga 2,5 m sampai pada akhir abad ini (Piggott McKellar et al., 2021). Kenaikan permukaan laut membawa berbagai dampak buruk seperti intrusi garam yang membahayakan akses ke air tawar, peningkatan frekuensi gelombang pasang dan gelombang badai, erosi pantai, banjir pantai, dan pasang surut yang lebih tinggi. Menghadapi situasi tersebut, masyarakat adat pesisir terancam harus berpindah tempat tinggal dikarenakan oleh kondisi perubahan iklim (climate migrant) (Spellman, 2022). Di sisi lain, masyarakat adat diakui secara luas karena kemampuannya beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan kejadian bahaya, termasuk dalam konteks perubahan kondisi pesisir serta kenaikan permukaan laut. Masyarakat adat menghadapi perubahan iklim dengan berbagai cara, misalkan dengan melakukan diversifikasi mata pencarian, perubahan sumber bahan makanan, serta pengelolaan ekosistem yang lebih lestari (Petzold, 2020). Namun, pengetahuan tradisional mungkin tidak selalu cukup untuk menghadapi kondisi iklim yang berubah secara ekstrem. Pengetahuan tradisional bersandar dari pengalaman masa lalu, sehingga cara ini memiliki sejumlah keterbatasan ketika dihadapkan pada kondisi perubahan iklim baru yang belum pernah terjadi sebelumnya (Lebel, 2012). Pada tataran global, berbagai forum dan konvensi internasional telah mengakui pentingnya memasukkan suara masyarakat adat dalam wacana perubahan iklim, seperti Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework/GBF), yang mengakui hak atas lingkungan yang sehat dan kebutuhan untuk memasukkan perspektif dan representasi masyarakat adat dalam wacana perlindungan dan pengelolaan lingkungan (Ituarte-Lima, 2023). Dalam konteks Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah memasukkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat dalam Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2021-2025, atau RANHAM, meskipun tidak secara khusus berkaitan dengan konteks kondisi perubahan iklim. Selanjutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah memberlakukan beberapa kebijakan untuk mengatur sistem zonasi pesisir bagi masyarakat adat pesisir (KKP, 2020). Meskipun demikian, wacana perubahan iklim di Indonesia masih sangat terfokus pada narasi ekosistem darat dan berbasis lahan. Masih ada kesenjangan yang lebar dalam penelitian dan intervensi kebijakan tentang keterkaitan antara hak-hak adat dan wacana perubahan iklim, khususnya dalam konteks ekosistem pesisir. Sebagai negara kepulauan, ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk memiliki kerangka kerja holistik untuk mengatasi masalah ini. Apalagi penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan 29.000 ha daratannya karena kenaikan permukaan air laut. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan memperkirakan Indonesia akan kehilangan 115 pulaunya dalam beberapa dekade mendatang (Karlina et al., 2020). Penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa pada tahun 2050, sebanyak 2.000 pulau kecil akan tenggelam di mana lebih dari 70% di antaranya berada di kepulauan Maluku (Herman, 2023). Dokumen ini disusun untuk menangkap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat pesisir dalam menghadapi perubahan iklim. Termasuk di dalamnya kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat adat pesisir, serta strategi mitigasi dan adaptasi yang mereka lakukan berhadapan dengan perubahan iklim. Salah satu kerangka analisis yang digunakan dalam dokumen ini adalah Framework for Integrating Rights and Equality (FIRE), sebuah kerangka kerja yang disusun oleh Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law (RWI) untuk mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan gender pada konteks perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.

Download Document